“Are you ready for PhD??” tulis seorang kawan pada dirinya sendiri setelah menyelesaikan studi masternya di negeri ginseng.
“Rencana mau lanjut kemana??” tanyaku padanya
“Eropa mungkin Mbak. Mau cari suasana baru.” katanya
Sekarang, entahlah. Aku tak lagi mendengar kabarnya.
Beda lagi dengan kisah senior yang dituliskannya dalam note sebuah media sosial setahun yang lalu. Aplikasi beasiswa ke negeri sakura, negeri impiannya, sudah lengkap bahkan sudah ada panggilan melakukan tes awal. Tapi, ia merenung lagi. Sekian tahun hidup hanya mempelajari ‘ilmu dunia’ lalu apa yang sudah ia usahakan untuk ‘ilmu akhirat’-nya? Akhirnya ia putuskan untuk membatalkan keinginannya dan masuk ke sebuah ma’had di daerah kelahirannya, Padang, untuk mempelajari bahasa arab. Tulisannya membuatku tercenung saat itu. Mengubah satu lagi cara pandang.
Sekarang, beliau sudah menikah dan mengajar di sebuah perguruan tinggi di tempat kelahirannya. Ya, beliau sama denganku. Sama-sama harus memenuhi kontrak untuk melakukan pengabdian. Beliau pula yang membuatku terdampar di tempat studi terakhir.
Aku melihat mereka begitu sibuk dengan papernya. Mahasiswa-mahasiswa S3 anak didik bapak dosen pembimbing. Konsep bimbingan bersama untuk seluruh tingkatan mahasiswa yang diterapkan oleh bapak dosen membuatku belajar banyak hal dari mahasiswa-mahasiswa berstatus dosen tersebut. Berapa banyak paper yang harus mereka baca, berapa banyak paper yang harus mereka submit, berapa kali mereka harus mengikuti seminar.
Menyenangkan, ya menyenangkan karena aku pun masih menyukainya. Membaca paper satu demi satu, mengambil satu demi satu potongan inti paper dan menyusunnya kembali dalam sebuah tulisan ilmiah. Persis seperti sebuah puzzle. Memusingkan tapi selalu menyenangkan. Tapi, sudahkah Al Qur’an terpahami??
Untuk bilang bahwa bisalah belajar sambil Al Qur’an sambil lanjut kuliah, jika dijawab dengan memperhatikan kemampuan sendiri, maka jawabannya adalah “muri..”. Otak ini terlalu bebal, hanya bisa fokus pada satu masalah. Satu terprioritaskan, yang lain tenggelam. Bahkan untuk prioritas hidup yang paling tinggi sekalipun, bisa kandas jika harus dihadapkan pada prioritas yang deadline saat ini…
“Are you ready for PhD??”
Sekarang, pertanyaan itu kuarahkan padaku.
Ya, nanti jika Allah berkenan memberikan kemurahanNya. Ya, nanti jika ilmu syari’atNya sudah berhasil dipahami. Ya, nanti jika anak-anak sudah bisa dilepas untuk mengabdi pada Rabb mereka dengan penuh kecintaan. Ya, jika amanah hidup yang sebenarnya sudah bisa terpegang. Ya, karena untuk menjawab ‘tidak’ pun kelu..
Actually, it’s not “sayonara”. It’s just “ja mata ne” π
May Allah will always lead to the way that He loves..
Karena prioritas tertinggi itu adalah Engkau..
Saya paling suka itu nyusun tulisan dari hasil riset orang2 ahli di bidangnya. Cuma ya itu, hubungan dengan Tuhan sedang memburuk. Seandainya saya tahu apa yang diinginkan Tuhan. Haduuh…….
ehehehe…asik kan Mas π
Sama seperti dengan seseorang yang belum terlalu kita kenal. Bagaimana bisa tahu apa yang ia inginkan?
Kenalan lebih dalam dulu aja sama Tuhannya. Pasti ketahuan deh apa maunya Tuhan ^^
Suka mbaaak… apalagi mahasiswa2 kek kami ini masih suka sekali ngimpi belajar keluar negeri, tapi rupa rupanya tanah air dan agama tertinggal. Bagus tulisannya mbakk
Saya yang tua juga masih mimpi yang satu itu…huhuhu…
moga deh kesampaian yang masih muda… π
Semangat Firaaa (^-^)9
Bisalah kalo kamu mah π
Aamiin. Doain ya mbak huhu,
ππ
(^^)b
Semoga Allah kabulkan segala pinta ^^