Bandung, St. Hall, bertahun yang lalu..
Kereta terakhir Jakarta-Bandung. Malam, sekitaran pukul 11-an menghentikan laju rodanya di Stasiun Bandung. Aku berjalan keluar kereta, melewati beberapa jalur kereta menuju pintu keluar utama.
Hingga sampailah pada jalan, ah entahlah apa namanya. Aku lupa. Itu sudah lama. Ingatanku tak pernah berfungsi sempurna. Tengok kiri kanan. Tak terlalu sepi, hanya tak terlihat ada angkot yang bisa kutumpangi untuk bisa sampai ke tujuan. Belum lagi tahu apa yang mesti dilakukan, seorang akang-akang mendekat,
“Cari angkot Teh?? Jam segini mah sudah gak ada angkot kalo disini.” serunya
Aku menengok ke arahnya. Malam itu gelap. Tak kelihatan seperti apa orangnya. Toh, itu juga sudah lama. Aku kan makhluk pelupa.
“Ayo Teh, ikut saya. Saya anter ke tempat yang masih ada angkotnya.” lanjutnya sambil berbalik arah
Aku masih berdiri terbengong menatapnya sambil menggotong ransel besar berisi si lempi yang tak pernah kutinggal kemanapun aku pergi.
Bodohnya kala itu, aku cuma menjawab,
“Eh, iya..”
Lalu mengikuti si Akang berjalan dari belakang.
“Cem bodo teuing..daripada disini cuma bisa celingukan ke kanan kiri gak jelas, cobalah ikut si Akang. Toh kalo ada apa-apa bisa teriak ato lari. Lagian, asik kan jadi petualangan menantang.” pikirku kala itu.
Bodormu Nduk…
Ho’o ya.. -___-
Ini gegara nasihat sakti si Bapak,
“Gak masalah kemana-mana sendirian. Malam juga. Asal dzikir terus aja.”
Njuk opo-opo diterjang…
Si Akang membelok ke arah gang sempit. Lalu naik ke jembatan kecil yang menghubungkan jalan utama utara stasiun dan jalan selatan stasiun yang terpisah rel kereta, sepertinya. Gelap dan nasib makhluk buta arah, tak menjanjikan apapun pada sel abu-abu untuk mendapatkan jawaban dari sebuah tanya,
“Ini daerah mana??”
Ada sekitar satu meter lebih aku menjaga jarak dengannya.
“Jangan terlalu dekat, Nak.” kata hati sendiri memperingati
Kok yo’o gak kepikiran, gimana kalo tiba-tiba dari arah belakang muncul kawanannya yang lain trus menghadang. Apapula ini, ngedrama disini.. -___-
Hening. Kita sama-sama tak ada yang bicara.
Aku masih mencoba melihat sekitar. Memaksa si sel abu-abu mengidentifikasi lokasi kejadian. Hasilnya, lieur awak..Nyerah deh..
Sampai kemudian, berakhirlah ujung dari jembatan sempit nan gelap nan bikin deg-degan ini. Sampailah kita di sebuah perempatan besar.
“Ini, perempatan mana??”
Aku masih mencoba mengingat-ingat. Berasa di Braga, tapi bukan..yah sudahlah..
“Disini aja Teh. Biasanya masih ada angkot lewat.” kata si Akang, yang entah dia itu mau ditempatkan ke posisi makhluk baik hati atau bukan, sambil ngeloyor pergi
“Iya Kang. Makasih…” jawabku tak lagi menghiraukan kemana ia pergi. Sibuk dengan pikiran sendiri.
Gelap. Cuma lampu jalan temaram yang ada. Aku mengawasi sekitar.
Beberapa gerombolan pemuda duduk-duduk di trotoar sepanjang pojok perempatan. Jalanan sudah sepi.
Dan, sudah dibilang kalo Allah itu baik. Ada taksi nangkring di atas jalanan pojok kanan perempatan.
Tanpa tengok kiri kanan. Aku berjalan menyeberang jalan menghampirinya.
“Turangga Pak..” kataku sambil melongok ke si Bapak taksi
“Hayuk, masuk Neng…” jawabnya
Aku berjalan mengitari si taksi, membuka pintu depan sebelah kiri, melepas tas ransel, dan duduk anteng di sebelah bapak taksi.
“Neng, ngapain malam-malam disini. Disini kan daerah rawan Neng..”
Glekk..nelen ludah..diem thok..bingung mau istighfar atau alhamdulillah.
Ketakutan itu baru terasa..saat itu. Ketika si Bapak memberitahu sebuah kenyataan.
-FIN-
Terkadang tidak tahu itu bisa sebegitu menyenangkan, kan. Dan terkadang, tidak tahu pun bisa membuat kita berjalan menantang keadaan. Tak harus menganalisis segala resiko yang terkadang hanya membuat diri ketakutan dan berhenti melangkah. Menyerah pada ketakutan yang bahkan belum dicoba ditaklukkan.
Tapi, benarkah??
Bagaimana jika dalam ketidaktahuan ketika itu, benar-benar terjadi hal yang mengancam keselamatan??
Tak mengerti situasi dan kondisi sekitar bahkan posisi diri sendiri pun tak bisa dikoordinatkan.
Jika saat itu tahu keadaan, mungkin aku akan bertahan di jalan depan stasiun utama. Setidaknya disana kondisi masih terang. Jikapun setelah sekian menit tak kunjung angkot datang, kan bisa menghubungi armada taksi yang nomornya sangat mudah dihapal bahkan oleh seorang pelupa sekalipun.
Ketidaktahuan itu mengerikan. Itu yang selalu menjadi bayangan entah dari kapan.
Tidak tahu ketika harus menentukan sebuah keputusan…
Tidak tahu kenapa bisa terjadi demikian..
Tidak tahu kenapa ada bisa sebegitu banyak hal di dunia yang tak diketahui..
Ketidaktahuan itu menyiksa. Itu yang selalu dirasa. Karena hanya akan menuntun pada asumsi dan prasangka tanpa tahu teori dan fakta serta realita.
“Kalo tahu ilmunya, enak kan..” kata si Bulik, teman Ibu, di akhir penjelasan.
Aku hanya tertawa lebar mengiyakan. Puas tak puas dengan apa yang dijelaskan.
Setidaknya, sebuah kenyataan itu melegakan. Apapun bentuknya. Apapun resikonya. Apapun konsekuensinya. Dari sanalah akan terlihat seberapa besar tekad diri sebenarnya untuk berani mengabil setiap resiko dan trade off dalam kehidupan.
“Mbak, kamu kalo penasaran bakalan nyari jawabannya sampai dapet kah Mbak? Meski mungkin nanti hasilnya mengecewakan??” tanya seorang kawan.
“Tergantung tingkat kepentingan. Kalo penting banget ya cari sampe dapet. Lebih enak kebenaran yang menyakitkan daripada terombang-ambing dalam ketidaktahuan yang merisaukan, kan.” jawabku.
Setidaknya, sebuah kenyataan itu akan membuat kita tersadar bahwa kondisi tak seburuk yang diduga atau mungkin lebih buruk dari yang diduga. Apapun, dengan tahunya sebuah kenyataan, jalan apa yang akan ditempuh pun kelihatan. Karena cahaya menerangi kegelapan.
Tak kan sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui..
Suka sekali pesannya mba.. Hati hati, semoga selalu dilindungii ☺
Semangat Mas Rakun Kecil (,”)9
Semoga selalu dalam perlindunganNya juga 🙂
Itu kenapa takdir itu lbh baik jadi misteri, kalo enggak bakal banyak orang stress karena takdir (buruk) yang akan menimpanya
Iya juga ya..apalagi klo tahu udah tertakdir masuk neraka. Stres level tertinggi mungkin yak..
Tapi klo urusan dunia ada enaknya juga sih. Klo udah tahu masa depannya, meski mungkin tak bisa mengubahnya, setidaknya bisa menyiapkan diri utk menerima…jd lbh enak kan ya..ehehe
agak ngeri waktu baca awal ceritanya..
Ehehe…tak semengerikan yg dibayangkan og Mas klo udah ngejalani..hehe
suka banget percakapan ini, mbak “Mbak, kamu kalo penasaran bakalan nyari jawabannya sampai dapet kah Mbak? Meski mungkin nanti hasilnya mengecewakan??” tanya seorang kawan.
“Tergantung tingkat kepentingan. Kalo penting banget ya cari sampe dapet. Lebih enak kebenaran yang menyakitkan daripada terombang-ambing dalam ketidaktahuan yang merisaukan, kan.” jawabku
hehe..
btw, pernah di bandung ya Mbak? daerah stasiun bandung emang rawan, mbak,, tapi saya sering pulang lewat sana sih,, dan memang banyak ‘makhluk’ malam.. hehe
Pernah Mb..sampe jatuh cinta sama bandung..ehehe..
‘Makhluk’ malam itu maksudnya apa Mb?
adeuh.. hehe.. memang banyak yang tak bisa melupakan Bandung selepas pergi darinya.. #eh
kalau kata pidi baiq, “Dan Bandung bagiku buka cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”. hihihi…
‘Makhluk’ malam itu ya para ‘pekerja’ malam dan rengrengannya, Mbak.. biasanya mangkal sekitar situ (arah stasiun kesana).
Hooo…itu ya. ‘makhluk’ malam banyak soalnya Mb..termasuk kelelawar…hehe..
wkwk… kadang-kadang mbak.. haha..
eh maap belum beres udah ke-send.. hehe.. iya mba ‘kelelawar’ juga kadang-kadang ada 🙂
kabar2i mbak klo ke bdg, siapa tau bisa ketemuan,, hehe
Asik ada inepan gratis. Eh, salah yak..
Iya Mb…insya allah 🙂
boleh, mbak,, nanti mampir ke kampungku, hehe
Kampungnya dimana Mbak?
Di Katapang, Kabupaten Bandung, masih cukup jauh dari pusat kota Bandung, 🙂